Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan menjadi Sultan Deli Ke 2, dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Setelah Mangkatnya Sultan Deli ke-3 Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara putra putranya dan menjadi awal berdirinya kesultanan Serdang.
Berdirinya Masjid Raya Al Mashun Medan
Di tahun 1728 Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, ke Kampung Alai [Labuhan Deli] Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Masjid Al Osmani yang merupakan masjid Kesultanan bagi Kesultanan Deli dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-8) masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi sejarah kesultanan Melayu Deli.
Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (Sultan Deli ke-9) kemudian memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar [pusat kota medan]. Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, ketika Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada tahun 1863 untuk ditanami tembakau Deli.
Di ibukota pemerintahan baru ini Kesultanan Deli berkembang pesat, setelah Deli lepas sama sekali dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1861. Meski masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam kemudian membangun Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.
Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun di rancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis. Mesjid Raya sedikit berbeda dengan masjid pada umumnya karana tidak banyak kaligrafi sini namun banyak terdapat ukiran bunga dan tanaman yang keseluruhanya di cat.
Arsitektural Masjid Raya Al Mashun
JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.
Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.
Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang mesjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.
Pengelolaan Masjid Raya Al Mashun
Secara tradisi turun temurun keluarga Sultan sangat berperan dalam pengelolaan masjid ini. Sejak era kemerdekaan, pemerintah kota Medan mengambil andil dalam perawatan dan pengelolaan masjid. Pengurus masjid sangat ketat menjaga masjid ini termasuk menjaga keaslian bangunan dengan tidak sembarangan melakukan perbaikan apalagi perombakan mengingat material yang dipakai untuk membangun masjid ini memang dari bahan bahan pilihan yang kini tidak mudah untuk didapatkan.
Sebagai bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun memberikan penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang berada dipintu gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung hendak memasuki masjid di”warning” agar tidak melakukan tujuh hal, yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang melakukan ketujuh larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.
Aktivitas Masjid Raya Al Mashun
Pada bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.
Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.
sumber : http://bujangmasjid.blogspot.com/2012/04/masjid-raya-al-mashun-medan-sumatera.html